Suatu masa, di sebuah daerah yang tengah dilanda kekeringan akibat kemarau panjang, berkumpullah orang-orang untuk melaksanakan shalat Istisqa. Sebenarnya, shalat ini sudah dilakukan berkali-kali. Akan tetapi, sampai saat itu Allah Swt. belum berkenan menurunkan hujan. Pada shalat Istisqa kali ini, hadirlah seorang pemuda tidak dikenal. Ketika dia berdoa, tiba-tiba hujan pun turun, dimulai dari tetesan-tetesan kecil di telapak tangan si pemuda, kemudian turun membasahi tubuhnya, lalu semakin membesar, dan akhirnya mengguyur daerah itu.
Semua orang terkagum-kagum dengan pemuda itu. ”Apakah dia malaikat?” tanya orang-orang. Ternyata bukan. Dia adalah manusia biasa seperti mereka. Lantas, mengapa doanya begitu mustajab? Saat hendak pergi ke tempat itu untuk bersama-sama melaksanakan shalat Istisqa, di perjalanan dia melihat seorang tua renta yang kelaparan. Spontan, pemuda itu memberikan semua bekalnya kepada orang tua itu. Boleh jadi, karena kebaikannya itu doanya menjadi mustajab. Seperti itulah keajaiban sedekah. Amalan itu bisa membukakan pintu-pintu pertolongan Allah dengan cara yang tiada terduga dan di luar nalar manusia.
***
Sepulang dari pengajian, seorang ibu sangat termotivasi untuk bersedekah. Kata-kata Pak Ustaz bahwa sedekah itu bisa “memancing” datangnya rezeki dan bisa menangkal berbagai macam bencana terus terngiang-ngiang di telinganya. Dia pun segera menyedekahkan uang simpanan terakhirnya sejumlah seratus ribu rupiah. Dalam hatinya dia berharap kalau suaminya yang tengah bekerja di luar kota bisa membawa “uang lebih” di luar gaji. “Ya buat tambah-tambah belanja kebutuhan,” begitu katanya.
Apa yang kemudian dia dapatkan? Apakah suaminya datang dengan membawa uang plus di luar gaji? Ternyata tidak. Yang datang malah anaknya yang masih SD. Dia datang dengan keringat bercucuran dan baju yang kotor blepotan. “Mah, tadi aku main dengan teman-teman di dekat jalan. Aku hampir saja celaka ketabrak mobil. Tapi aneh, saat mau ketabrak, tiba-tiba ada yang menarikku dari belakang hingga aku terjatuh. Ini bajuku sampai kotor begini. Aku nggak tahu siapa yang menarikku itu, yang jelas bukan teman-temanku. Kalo saja aku tidak ada yang narik, nggak tahu deh … mungkin sekarang aku udah almarhum!” ujar anak itu dengan muka pucat.
Sang ibu hanya bengong seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Kemudian, setelah sadar, dia mengucapkan hamdalah dan syukur kepada Allah Swt. yang telah menyelamatkan anaknya. Dia sangat yakin kalau sedekah yang seratus ribu itulah yang menjadi sebab datangnya pertolongan Allah sehingga malaikat menyelamatkan anaknya. Saat itu, dia tidak lagi berpikir kalau suaminya bisa pulang membawa uang tambahan. Dia sudah sangat bersyukur melihat anaknya selamat tanpa satu apa pun.
***
Abdullah bin Mubarrak, seorang ulama besar generasi tabiin yang lahir pada 736 M, suatu ketika melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Itu adalah ibadah haji yang kesekian kalinya dia lakukan. Setelah selesai tawaf ifadhah dan melempar Jumratul ‘Aqabah, dia beristirahat sambil bersandar ke tembok di Hijr Ismail. Mungkin karena lelah, kantuk pun datang menyerang. Dalam keadaan antara bangun dan tidur, tampaklah olehnya di balik tembok dua malaikat yang tengah bercakap-cakap dengan serius.
“Berapa orang jamaah haji tahun ini?” tanya salah seorang malaikat.
“Ada enam ratus ribu orang,” jawab malaikat yang satu lagi.
“Berapa orang yang mabrur?”
“Tidak ada seorang pun. Yang mabrur hajinya justru orang yang tidak jadi datang ke sini!”
“Siapakah dia?”
“Ali Al Muwaffak, seorang tukang sepatu di Damaskus.”
Mengalami kejadian seperti itu, Abdullah bin Mubarrak pun langsung terjaga. Berkali-kali beliau membaca tasbih dan istighfar, menyesali dirinya dan diri jamaah haji lainnya yang sia-sia amal ibadahnya.
Terdorong oleh rasa penasaran, usai berhaji, dia pun langsung pergi ke Damaskus. Ditelusurinya jalan-jalan sambil terus bertanya siapa dan di mana Ali Al Muwaffak itu? Karena nama, profesi, dan ketaatan ibadah Ali Al Muwaffak sudah dikenal oleh penduduk di sana, Abdullah bin Mubarrak pun berhasil menemuinya.
Setelah mengucapkan salam dan perkenalan, Abdullah bin Mubarrak langsung menceritakan pengalamannya mendengar dua malaikat yang bercakap-cakap di Hijr Ismail. Tanpa ragu, beliau langsung bertanya, “Apakah gerangan yang menyebabkan Anda berpredikat sebagai haji mabrur, sedangkan Anda sendiri tetap tinggal di Damaskus?”
“Entahlah,” jawab Ali Al Muwaffak merendah.
Ali kemudian melanjutkan jawabannya, “Barangkali ada satu hal yang pernah saya kerjakan, yaitu mengorbankan niat untuk menunaikan haji tahun ini. Ceritanya, saya sudah bertahun-tahun menabung untuk bekal perjalanan ke Tanah Suci. Pada musim haji tahun ini, saya sudah merencanakannya untuk naik haji karena bekal yang saya butuhkan sudah dianggap cukup. Suatu hari, istri saya yang sedang ngidam tergiur oleh bau harum daging panggang dari dapur tetangga sebelah. Dia merengek terus ingin mencicipi daging panggang tersebut. Saya pun terpaksa mendatangi rumah yang menjadi sumber ‘gara-gara’ itu. Pemilik rumah itu adalah seorang janda miskin dengan beberapa anak kecil yang menemaninya. Saya mengucapkan salam dan langsung mengemukakan hasrat istri saya. Namun, dia tampak tertegun, kemudian berkata dengan gugup, ‘Wahai pembuat sepatu, maaf sekali saya tidak dapat mengabulkan keinginan istri Anda karena daging yang sedang saya bakar ini hanya halal bagi saya dan anak-anak saya yang sudah beberapa hari tidak menemukan makanan! Daging ini berasal dari bangkai keledai yang saya temukan di jalan. Bagi Anda dan istri Anda yang masih mempunyai simpanan makanan dan belum darurat, jelas daging ini haram!’ Mendengar itu, saya yang balik menjadi gugup dan tertegun.”
Ali kemudian melanjutkan ceritanya kembali, “Saya yang memang masih mempunyai simpanan makanan, bahkan tabungan untuk pergi ke Tanah Suci, buta dan tuli terhadap nasib tetangga saya yang terpaksa memakan bangkai keledai. Detik itu juga, saya lari ke rumah untuk mengambil semua isi tabungan dan menyerahkannya kepada janda anak beranak banyak tersebut agar mereka terbebas dari kelaparan dan ketelantaran. Saya pun berikut anak dan istri selalu berdoa agar terbebas dari jilatan api neraka.”
Buku : AGAR PARA MALAIKAT BERDOA UNTUKMU Penulis : Sulaiman Abdurrahim Penerbit : Arkanleema
]]>