syaamilquran.com – Pengali Kebajikan dan Kesadaaran kita akan Jumlah – Empat ribu kambing bukan jumlah yang kecil. Itu sangat banyak, besar, dan melimpah. Apalagi bagi keluarga miskin seperti Yusuf Al-Asyja’i. Di hari-hari awal islam yang penuh tekanan, permusuhan, dan perampasan, Auf bin Malik kehilangan anaknya, karena disandra orang-orang musyrik Quraisy. Lelaki miskin itu hanya bisa mengadu kepada Rasulullah.
[caption id="attachment_3703" align="aligncenter" width="390"]
Pengali Kebajikan dan Kesadaaran kita akan Jumlah[/caption]
“Wahai Rasulullah, anakku disandra, dan istriku sangat tertekan. Apa yang kau perintahkan untukku?” Auf mengadu kepada Rasulullah.
“Bertakwalah kepada Allah, bersabarlah, dan perbanyak mengucapkan, “Laa haula walaaquwwata illla billaah,” jawab Rasul. Maka lelaki itu pun menjalankan perintah itu, mengajak istrinya melakukan juga. Tak lama, para penyandra itu lengah, dan anak Auf melenggang pulang sambil mengiring pulang kambing milik orang kafir Quraisy itu, sebanyak empat ribu ekor. Maka turunlah ayat terkait dengan itu, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya dia akan mengadakan beginya jalan keluar. Dan memberi rizki dari arah yang tak terduga-duga.”
Setiap kita perlu kuantitas, sebagaimana kita perlu akan kualitas. Kita membutuhkan jumlah, sebagaimana kita menghajatkan mutu. Antara apa yang dihitung dengan angka, dengan apa yang tak bisa dihitung, bahkan dengan penjumlahan, keduanya sama pentingnya. Ini berlaku untuk berbagai hal dalam hidup kita.
Sesungguhnya prinsip ada jumlahnya, dalam Islam sangat dominan. Prinsip kelipatan jumlah yang besar, bahkan tak terbatas, merupakan salah satu pilar penting kehidupan, yang dibangun atas dasar iman. Ini tidak bertentangan dengan ajaran untuk sabar, zuhud, ataupun larangan untuk berlebih-lebihan. Itu dua hal yang sangat jauh berbeda.
Akan tetapi seringkali kita sering keliru dan bias dalam menghadapi kedunya. Kita cendrung mempersepsi jumlah dan angka-angka dalam jumlah yang besar, sebagai sesuatu yang sepenuhnya negatif, salah, dan menjerumuskan. Pada saat yang sama, kita lebih nyaman untuk lebih merasa bahwa angka-angka kecil, keterbatasan, segala yang sedikit, sebagai sesuatu yang lebih benar, lebih nyaman, dan itu kadang lebih selaras dengan keimanan. Itu haya menegaskan sisi lain dari kebiasaan buruk kita, bahwa kita sering mengkonversi masalah mentalitas yang buruk kedunia persepsi yang keliru. Tapi pada saat yang sama kita mersa benar. Ini situasi jiwa yang rumit, sekaligus melelahkan.
Kesadaran akan jumlah yang sangat melimpah, merupakan bagian penting dari keimanan. Itu dimulai dengan mengartikan betapa banyak dan tak terbatasnya karunia Allah. Betapa banyak ayat-ayat Allah yang menggugah hati, mengasah pikiran, dengan bahasa yang sangat tajam, menjelaskan adanya jumlah yang sangat-sangat besar dari Allah yang diberika kepada kita. Disalah satu kesempatan, bahkan kita ditantang sangat keras, berulang-ulang “Maka nikmat tuhanmu manakah yang kalian dustakan?”
Ini merupakan pilar dan landasan dari pendahuluan. Menyadari, mengakui, merasakan, dan meyakini, secara langsung maupun tidak langsung, merupakan perintah iman dan tuntutan penghambaan. “ Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dengan demikian, pijakan dasar kita dalam mempersepsi diri sendiri, seharusnya dimulai dari diri kita’ adalah orang yang berpunya’. Kita memiliki berbagai hal dengan jumlah yang melimpah. Dengan demikian maka pijakan dasar kita dalam mempersepsi karunia, dimulai, dilandaskan pada prinsip kemelimpahan. Kita seharusnya tidak alergi dan nyinyir, pada apa yang berdimensi jumlah, angka, dan skala yang besar. Setidaknya secara prinsip dasar.
Salah satu dari spirit iman itu sendiri adlah menciptakan kelimpahan. Perhatikan misalnya, janji Allah dalam kisah Auf bin Asyja’I di atas. “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka akan dijadikanya jalan keluar, dan diberikan rizki yang tidak disangka.” Tidak disangka, artinya bisa terkait darimana datangnya, juga tidak terduga dari segi jumlahnya. Demikian juga bila itu terkait dengan rasa cukup dan perasaan terjamin. Itu adalah jumlah psikologis, yang pasti melampaui jumlah matematis, dalam kadar tertentu. Hal itu terkait dengan janji Allah, “Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” Para ulama seperti Al Qahthani misalnya, menjelaskan maksud ayat tersebut, bahwa Allah menjamin dan memenuhi hambanya yang bertawakal tersebut, dari apa-apa yang dikeluhkannya dari urusan agama dan dunia.
Perasaan cukup itu pasti memasuki angka tertentu dari jumlah matematis yang rasional. Itu sebabnya, keterbatasan yang sudah ekstrim, yang mengancam kematian, misalnya, membuka jalan dibolehkannya memakan yang haram. Itu batas nasional dari rasionalitas matematis, untuk memastikan hidup yang tersambung. Karenanya, kosakata yang menjelaskan jumlah yan banyak, benyak, seharusnya hadir dalam kesadaran kita. Itu bukan aib. Kosakata tentang kemelimpahan adalah kosakata keimanan.
Selanjutnya, dari sana kita memasukii wilayah kebajikan, yang juga menganut prinsip adanya dorongan untuk diperbesar, diperbanyak. Di saat kita memiliki keterbatasan untuk mengejar jumlah, maka kita memerlukan pengali. Yang menjadikan sebuah kebajikan bisa berkembang biak, bertambah-tambah, dan membesar. Bahkan dalam jumlah yang tidak kita bayangkan. Maka kita memerlukan setiap faktor pengali.
Perkalian itu sendiri terbagi menjadi dua. Pertama, adalah pengali yang datang langsung dari Allah swt. Atau mutlak ada dalam otoritas-Nya. Melalui janji-Nya, Allah menegaskan bahwa suatu kebajikan, bisa dilipatgandakan oleh Allah menjadi berkali-kali lipat. Ini ruang yang sepenuhnya ada dalam kuasa Allah. Tetapi kita bisa memantaskan diri untuk mendapatkan pengalian khusus tersebut. Dalam salah satu firman-Nya, Allah menjelaskan, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:261).
Menurut para ulama, kepastian para pengalian itu sudah mutlak, bila angkanya sudah sepuluh kali. Sebab setiap kebajikan, sudah pasti dikendalikan oleh Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,”Barangsiapa yang membawa amal baik, maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya.”
Adapun pengalian diatas sepuluh seperti dijelaskan oleh Syaikh As Sa’id, “Dipengaruhi oleh banyak hal, oleh jenis kebajikan amal itu sendri, dipengaruhi oleh pelakunya, tempat dilaksanakannya, efek dari amal itu, atau waktu pelaksanaannya.” Misalnya ini terkait dengan bulan Ramadhan, terkait dengan tempatnya, misalnya di Masjidil Haram. Selain itu, bila itu terkait dengan pelakunya, perlipatgandakan ini juga dipengaruhi oleh kadar ketulusan kita dalam beramal. Lalu kesungguhan kita menjalankan amal kebajikan itu sendiri.
Pengali kedua, adalah pengali yang datang dari ikhtiar dan kreasi kita. Sebagai bentuk amal dan jerih payah sungguh-sungguh yang kita usahakan. Maksudnya, pengali itu datang dari adanya proses permintalan dan persambungan. Satu buah kebajikan, dilanjutkan, dilestarikan, oleh orang lain. Atau diperbanyak dengan masif, lantaran adanya komunitas, kelompok atau kumpulan dan kerumunan orang yang jumlahnya besar yang sama-sama mengambil kebajikan tersebut dan mengembangkannya.
Untuk pengalian yang kedua ini, sanga jelas pesan Rasulullah, bahwa para perintis kebijakan, apapun bentuknya, yang merupakan pemula, pengawal, dan peletak pertama kebajika itu, akan mendapatkan tembusan pahala dari seluruh orang yang mengikuti kebajikan itu, dimanapun orang itu, dan sampai jaman apapun ini berlangsung. Salama kebajikan itu masih ada yang melanjutkannya.
Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa merintis (memulai) dalam agama islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun pahala dari mereka. . .”
Kita memerluka pengali, agar kita bisa melampaui apa yang hanya bisa dilakukan seorang diri. Kita memerlukan pengali, karena ada unsur kompetensi yang tidak bisa kita hindari dalam hidup ini. Lalu pada saat yang sama, kita juga harus berlomba dengan waktu. Maka Al-Qur’an pun menegaskan pentingnya dimensi waktu dan kesegeraan, termasuk saat kita ingin mengejar surga. Allah berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
Pada akirnya, apa yang kita pahami tentang jumlah, haruslah secara utuh kita hadirkan dalam kehidupan kita. Itu terkait dalam berbagai hal. Dari mulai karunia yang tersentuh, terhitung sampai yang tak terhingga. Sampai dengan kebajikan-kebajikan yang kadang terasa tapi tak terlihat wujud fisiknya. Bila kita gagal menghadirkan persepsi yang benar tentang dimensi jumlah dan angka, itu akan mencederai keseluruhan cara pandang kita akan kebajikan yang memerlukan pengali. Sebab, pada dasarnya ada dimensi jumlah dalam iman itu sendiri. (oleh Ahmad Zairofi AM – Tarbawi, Edisi 290 Th.14. Rabiul Awal 1434, 7 Februari 2013)
]]>