syaamilquran.com – Teladan As Salam – Siapa pun yang ingin meneladani asma Allah As Salam harus menjadikan salam (kedamaian) sebagai prinsip utama dalam hidup kita. Kita harus menyiapkan diri untuk menjadi sumber kedamaian bagi orang lain. Siapa pun yang bersama kita, yang dekat dengan kita, dan yang berinteraksi dengan kita, harus merasakan adanya kedamaian.
[caption id="attachment_2429" align="aligncenter" width="300"]
“… dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS Al Furqan, 25: 63)
Sebagai pemantik semangat, saya kutipkan perjalanan seorang sahabat Nabi yang berjuang menjadikan dirinya sebagai penebar salam. Nama sahabat ini Abu Juray. Awalnya, dia merasa heran. Dilihatnya orang-orang berbicara tentang banyak hal. Akan tetapi, selalu saja sumber perbincangannya berasal dari satu sosok yang istimewa. Abu Juray pun berusaha mencari tahu, siapakah sosok istimewa itu.
“Siapa sosok orang itu?” tanya Abu Juray kepada orang-orang.
“Dia Rasulullah,” jawab mereka.
“‘Alaikassalam, wahai, Rasulullah,” gumamnya.
“Hai, engkau jangan berkata ‘alaikassalam, tapi katakanlah assalamualaikum. ‘alaikassalam itu ucapan untuk orang yang mati,” jawab seseorang.
Setelah bertemu Rasulullah saw., Abu Juray pun bertanya, “Engkaukah Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Aku adalah Rasul utusan Allah, Zat yang apabila dirimu terkena kesulitan lalu engkau berdoa kepada-Nya, Dia akan melepaskan kesulitan itu dari dirimu. Jika engkau mengalami musim kering lalu engkau meminta kepada-Nya, Dia akan menumbuhkan tanaman itu untukmu. Jika engkau berada di tanah yang tidak bertuan atau padang gersang, lalu binatang tungganganmu hilang, lalu engkau memohon kepada-Nya, Dia akan mengembalikannya kepadamu …”
Hari itu, Abu Juray belajar tentang Allah Swt., tentang betapa Maha Pengasih dan Penyayangnya Dia. Tampaknya, Abu Juray telah mendapatkan jawaban atas kepenasarannya. Begitu pula keheranannya. Ia mendapati sosok yang dari dirinya mengalir begitu banyak nasihat, budi pekerti yang luhur, pijakan perilaku, kedamaian, dan tuntunan jalan keselamatan. Abu Juray pun memberanikan diri meminta nasihat khusus kepada Nabi.
“Nasihati aku dengan nasihat yang mengikat,” demikian pintanya.
“Janganlah engkau mencaci seorang pun. Janganlah engkau menghina sebentuk kebajikan apa pun. Bicaralah dengan sesama saudaramu dengan keadaan wajah yang cerah karena itu adalah kebaikan. Tinggikan kainmu dan jangan kaujuntaikan karena itu bagian dari kesombongan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai kesombongan. Jika seseorang menghina dan mencaci dirimu dengan sesuatu yang dia tahu bahwa itu memang ada pada dirimu, janganlah engkau membalas menghina dan mencacinya dengan sesuatu yang engkau tahu itu ada pada dirinya. Biarkan kesudahannya kembali pada dirinya dan bagimu pahalanya; dan jangan mencaci apa pun.”
Bagi Abu Juray, hari-hari sesudah itu adalah hari-hari penuh keimanan, pencerahan, jalan lurus, dan kedamaian, sebagai hasil ditunaikannya janji yang dimintanya dari Rasulullah saw. Dengan sepenuh kesungguhan, ia meniti jalan hidup baru; jalan hidup yang penuh salam dan kemuliaan. “Sungguh, sesudah itu, aku tidak pernah menghina dan mencaci seorang pun, budak ataupun orang merdeka, tidak pula aku mencaci keledai ataupun domba,” ungkapnya suatu ketika.*** (syaamilquran.com/ sumber: Asmaul Husna Effects. Sulaiman Abdurrahim & Abu Fawwaz. Arkanleema).
]]>