Sebut saja Pak Iwan. Ia adalah seorang dokter bedah urologi (ginjal dan saluran kencing) yang sangat terkenal. Keahlian dan prestasi profesinya tenar seantero negeri. Bahkan, ia telah dipromosikan sebagai guru besar di almamater tempatnya berkarya.
Perjalanan hidup Iwan sangat berat. Ia adalah seorang anak yatim yang sering sakit-sakitan dan ditelantarkan oleh ibunya sampai akhirnya ditemukan serta dirawat oleh seorang dokter yang baik hati. Keluarga dokter ini menganggap Iwan sebagai bagian dari keluarga mereka sendiri. Putra dan putri Pak Dokter yang berusia lebih tua dari Iwan, menganggapnya sebagai adik, sedangkan yang lebih muda, menerimanya sebagai kakak.
Iwan sendiri tidak ingat apa yang terjadi pada dirinya, karena ketika diambil dan dibawa oleh Pak Dokter, ia baru berusia 4 tahun. Yang masih ia ingat secara samar-samar adalah sosok sang ibu yang berkemben dan membawa selembar kain untuk menggendongnya. Selintas, Iwan pun masih ingat bagaimana ia dipondong ke sana kemari menyusuri kolong-kolong jembatan di berbagai wilayah di ibukota.
Ketika beranjak dewasa, Iwan mendengar penggalan kisah masa lalunya, itu pun sepotong-sepotong, dari Bi Imas si juru masak. Menurut Bi Imas, ayah Iwan adalah seorang pengemudi truk tronton yang tewas ketika mempertahankan truknya yang hendak dibajak oleh sekawanan begal. Ibunya yang sebatang kara di ibu kota berusaha mempertahankan kehidupan dengan cara serabutan, mulai dari mencuci, memasak, memulungi sampah, dan berjualan jamu gendongan dilakoninya. Selembar kain lusuh biru kehijauanlah yang menjadi satu-satunya benda yang menghubungkan Iwan dengan kenangan terhadap ibunya.
Hal terpahit yang membuat Iwan seolah hendak menafikan potongan sejarah masa lalunya adalah keterangan yang ia terima dari Mang Diman, sopir keluarga yang telah mengabdi lebih dari 30 tahun. Menurut Mang Diman, sang ibu menyerahkan Iwan untuk dirawat Pak Dokter karena merasa tidak sanggup mengurusnya lagi. Terpaan dan deraan beban hidup memaksanya menyerah.
Cerita tersebut membuat Iwan menahan amaran jika mengingatnya. Iwan dewasa senantiasa berpendapat, apa pun kondisi yang dihadapinya semestinya seorang ibu tak patut untuk memisahkan diri dari anaknya.
“Aku akan lebih bersyukur apabila hidup sangat melarat tetapi bisa bersama Ibuku!” demikian pikir Iwan. “Ibu telah menghapus kesempatanku untuk mengabdikan diriku kepadanya. Ibu telah menutup ladang amalku dengan menghapuskan kesempatanku untuk berbakti kepadanya, dari lembar hidupku!”
Penyesalan Iwan sampai hari ini tidak pernah surut. Apa pun kebaikan yang diceritakan Bi Imas tentang Ibu Iwan, ia nyaris tak peduli, yang nyata baginya adalah ia tumbuh dan dewasa bersama orang-orang yang bukan ayah dan ibu kandungnya!
Pada usia 16 tahun, maut hampir saja merenggut Iwan. Sebuah infeksi serius mengakibatkan kedua ginjalnya gagal berfungsi secara optimal. Malah, semakin hari keadaannya semakin buruk. Jika tidak dilakukan transplantasi, secara medis hidup Iwan akan segera berakhir.
Upaya mencari donor ginjal pun dilakukan. Dokter tua mengerahkan segenap tenaga dan jejaring koleganya untuk mendapatkan donor yang sesuai. Tapi, tak satu pun donor yang tersedia cocok dengan sistem kekebalan tubuh Iwan. Sampai kemudian, di saat-saat Iwan telah kehilangan kesadaran, datang seorang donor yang ginjalnya sangat cocok bagi Iwan. Dilakukanlah operasi transplantasi dan kesehatan Iwan pun berangsur-angsur pulih
Ketika dewasa, Iwan memilih kuliah di fakultas kedokteran seperti profesi yang dijalankan ayah angkatnya. Ia bertekad menjadi seorang ahli bedah urologi, profesi yang telah membantu menyelamatkan hidupnya. Meski begitu, Iwan masih penasaran satu hal. Siapa donor misterius itu? Ayah angkatnya pun tidak mau bicara jika ditanya tentang orang dermawan tersebut.
Suatu hari, ketika Iwan melakukan visite (kunjungan pasien) di bangsal kelas III, Ia mendapat laporan dari dokter muda yang bertugas jaga bahwa ada seorang pasien wanita tua yang mengalami kondisi gagal ginjal terminal, alias tak ada harapan lagi. Setelah melihat catatan medis pasiennya, Iwan memerintahkan seorang dokter muda untuk merawatnya sepenuh hati agar ia dapat memperoleh ketenangan di akhir hidupnya.
Keesokan harinya, pasien wanita tua itu meninggal dunia. Dokter muda meminta Iwan melakukan pemeriksaan akhir sebelum dibuat laporan kematian. Iwan sangat terkejut ketika mendapati di sisi panggul sebelah kiri jenazah pasien tersebut terdapat sebuah guratan luka parut dengan arah melintang. “Apakah pasien ini ada riwayat dioperasi?” tanyanya pada dokter muda. “Ada Dok, sebuah operasi pengambilan ginjal untuk transplantasi 30 tahun yang lalu.”
Iwan termenung, hatinya tercekat mendengar keterangan itu. Secercah perasaan aneh terbersit di hatinya. Bergegas ia keluar menuju parkiran. Satu tujuannya, memanggil Mang Diman, sopir keluarga berusia tua yang setia mengantarnya. Setengah diseret Mang Diman dibawa Iwan ke bangsal kelas III bedah khusus wanita. Sepersekejap saja Mang Diman melihat wajah jenazah yang terbaring di atas ranjang rawat itu, pucatlah raut mukanya. “Dia … ?” “Dia siapa Mang?” sambar Iwan. “Dia, Ibu Mas Iwan!”
***
Sedemikian kasihnya seorang bunda, ia tak hanya rela mengorbankan hatinya untuk berpisah dari anaknya demi sebuah kebaikan di masa depan. Bahkan, ia rela menyerahkan sebagian organ tubuhnya demi kelangsungan hidup buah hatinya. Ia tak pernah menyesali sikap dan keputusannya, andai pun ia mengetahui bahwa memberikan sebuah ginjal berarti menukarnya dengan umur beberapa tahun. Malam-malam kerinduan ia bunuh dengan tangisan doa yang penuh harapan, jalan-jalan sepi ia lalui dengan zikir bagi kebaikan sang buah hati, dan hidup tak lagi sama bagi seorang bunda yang dipisahkan dari anaknya. Hidup hanyalah ruang kosong, di mana tawa masih dapat bergema meski tak lagi memiliki makna!
“Ya Allah … Bacaan apa pun yang kami baca dan Engkau sucikan,
shalat apa pun yang kami dirikan dan Engkau terima, zakat dan sedekah apa pun yang kami keluarkan dan Engkau sucikan serta kembangkan, amal shalih apa pun yang kami kerjakan dan Engkau ridhai, mohon kiranya ganjaran mereka lebih besar dari ganjaran yang Engkau anugerahkan kepada kami, bagian mereka hendaknya lebih banyak dari yang Engkau limpahkan kepada kami, serta perolehan mereka lebih berlipat ganda dari perolehan kami. Karena Engkau, ya Allah, telah berwasiat agar kami berbakti kepada mereka, dan memerintahkan kami mensyukuri mereka, sedangkan Engkau lebih utama berbuat kebajikan dari semua makhluk yang berbuat kebajikan, serta lebih wajar memberi dibanding siapa pun yang diperintahkan memberi …”.
— Syaikh Muhammad bin Ahmad Al Hadhrami —
(Dikuti dari Tauhid Nur Azhar dan Sulaiman Abdurrahim. 114 Kisah Nyata Doa-doa Terkabul. Arkanleema. 2009)
]]>